Setiap kita mungkin pernah mengalami, tiba-tiba saja istri kita di rumah uring-uringan tanpa sebab yang jelas; memasang muka masam serta banyak melakukan penolakan dan bantahan. Mungkin kita juga pernah mengalami sebagai orang tua, kok tiba-tiba anak-anak kita yang tadinya mudah diatur dan penurut, menjadi susah diatur dan banyak membantah serta memberontak. Sebagai guru mungkin kita pernah mengalami anak-anak didik kita banyak melawan dan tidak patuh. Sebagai dai mungkin kita pernah mengalami kata-kata kita tidak didengar orang, diacuhkan dan tidak dipedulikan.
Akan tetapi sebaliknya, kita mungkin pernah melihat seseorang yang nasihat-nasihatnya mudah diterima oleh orang lain, kata-katanya menyejukkan hati dan memberikan semangat jiwa. Kita mungkin pernah mendengar seorang imam shalat yang bacaan Qur’annya membuat makmumnya menangis tersedu-sedu, padahal kalau kita yang membaca, tidak ada orang yang menangis, malah mungkin jemu. Lalu, apakah artinya semua ini?
Mata hati seorang mukmin tidak pernah sepi dari kehadiran Allah; semua urusan selalu ia kembalikan kepada-Nya. Sebelum menilai sesuatu, ia selalu mengembalikan pada dirinya terlebih dahulu, mengintrospeksi sejauh mana ia sendiri berbuat. Ia sadar bahwa manusia adalah tempatnya kesalahan, tidak ada yang maksum kecuali Nabi Muhammad saw. Ia sadar bahwa setiap perilaku baik maupun buruk yang ia terima dari makhluk Allah yang ada di dunia ini adalah imbas dari hubungannya dengan Allah swt. Jika ia taat kepada Allah dengan banyak melakukan amal saleh, semua makhluk hidup insya Allah akan berlaku baik padanya. Sebaliknya, jika ia berbuat maksiat kepada Allah dengan melalaikan semua perintah-Nya, semua makhluk hidup insya Allah akan membencinya dan berlaku buruk padanya. Inilah sebabnya mengapa Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku mengetahui dosa-dosaku dari perilaku istriku, hewan peliharaanku, dan tikus yang ada di rumahku.” Sebagaimana juga firman Allah dalam surah asy-Syuura ayat 30, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” Karena pada hakikatnya, perilaku buruk yang kita terima adalah sebuah musibah bagi kita.
Kunci hubungan kita dengan diri kita sendiri adalah spiritual, sejauh mana kita membangun ma’nawiyah kita dengan melakukan amal-amal yang dapat mendekatkan kita kepada Allah. Sedangkan, Rasulullah menyebutkan bahwa kunci baik-buruknya seseorang terletak pada hatinya; jika ia baik maka baiklah seluruh perilakunya, jika ia buruk maka buruklah seluruh perilakunya. Jadi, jelaslah bahwa kekuatan spiritual yang menentukan hidup seseorang, termasuk hubungannya dengan orang lain dan seluruh ciptaan Allah. Karena komunikasi—sebagai kunci hubungan kita dengan orang lain—harus dimulai dari hati. Manakala hati kita bersih, jauh dari dosa dan maksiat, insya Allah hati orang lain pun akan mudah menerima kita. Karena sesungguhnya fitrah manusia membenci keburukan sehingga ia mudah menerima yang baik-baik dan disampaikan oleh orang yang hatinya juga baik. Hati manusia dapat melihat yang tersurat dan yang tersirat sehingga tidak dapat dikelabui.
Oleh karena itu wahai Saudaraku, bicaralah dari hati ke hati dan waspadalah terhadap dosa yang dapat melemahkan wibawamu di hadapan makhluk. Selalulah beramal saleh, bertobat, dan mengintrospeksi diri sehingga kedudukanmu tinggi di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya.
Akan tetapi sebaliknya, kita mungkin pernah melihat seseorang yang nasihat-nasihatnya mudah diterima oleh orang lain, kata-katanya menyejukkan hati dan memberikan semangat jiwa. Kita mungkin pernah mendengar seorang imam shalat yang bacaan Qur’annya membuat makmumnya menangis tersedu-sedu, padahal kalau kita yang membaca, tidak ada orang yang menangis, malah mungkin jemu. Lalu, apakah artinya semua ini?
Mata hati seorang mukmin tidak pernah sepi dari kehadiran Allah; semua urusan selalu ia kembalikan kepada-Nya. Sebelum menilai sesuatu, ia selalu mengembalikan pada dirinya terlebih dahulu, mengintrospeksi sejauh mana ia sendiri berbuat. Ia sadar bahwa manusia adalah tempatnya kesalahan, tidak ada yang maksum kecuali Nabi Muhammad saw. Ia sadar bahwa setiap perilaku baik maupun buruk yang ia terima dari makhluk Allah yang ada di dunia ini adalah imbas dari hubungannya dengan Allah swt. Jika ia taat kepada Allah dengan banyak melakukan amal saleh, semua makhluk hidup insya Allah akan berlaku baik padanya. Sebaliknya, jika ia berbuat maksiat kepada Allah dengan melalaikan semua perintah-Nya, semua makhluk hidup insya Allah akan membencinya dan berlaku buruk padanya. Inilah sebabnya mengapa Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku mengetahui dosa-dosaku dari perilaku istriku, hewan peliharaanku, dan tikus yang ada di rumahku.” Sebagaimana juga firman Allah dalam surah asy-Syuura ayat 30, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” Karena pada hakikatnya, perilaku buruk yang kita terima adalah sebuah musibah bagi kita.
Kunci hubungan kita dengan diri kita sendiri adalah spiritual, sejauh mana kita membangun ma’nawiyah kita dengan melakukan amal-amal yang dapat mendekatkan kita kepada Allah. Sedangkan, Rasulullah menyebutkan bahwa kunci baik-buruknya seseorang terletak pada hatinya; jika ia baik maka baiklah seluruh perilakunya, jika ia buruk maka buruklah seluruh perilakunya. Jadi, jelaslah bahwa kekuatan spiritual yang menentukan hidup seseorang, termasuk hubungannya dengan orang lain dan seluruh ciptaan Allah. Karena komunikasi—sebagai kunci hubungan kita dengan orang lain—harus dimulai dari hati. Manakala hati kita bersih, jauh dari dosa dan maksiat, insya Allah hati orang lain pun akan mudah menerima kita. Karena sesungguhnya fitrah manusia membenci keburukan sehingga ia mudah menerima yang baik-baik dan disampaikan oleh orang yang hatinya juga baik. Hati manusia dapat melihat yang tersurat dan yang tersirat sehingga tidak dapat dikelabui.
Oleh karena itu wahai Saudaraku, bicaralah dari hati ke hati dan waspadalah terhadap dosa yang dapat melemahkan wibawamu di hadapan makhluk. Selalulah beramal saleh, bertobat, dan mengintrospeksi diri sehingga kedudukanmu tinggi di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya.
By Dendi Irfan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar