Anda menginginkan sesuatu? Anda ingin mendapatkan solusi? Anda ingin tambah penghasilan? Caranya mudah, MEMINTALAH!!!
Memintalah kepada Tuhan Yang Maha Memberi dan Maha Pemurah.
Memintalah kepada orang-orang yang Anda lihat dapat membantu mewujudkan keinginan Anda itu.
Sebelum meminta, BUATLAH DIRI ANDA PANTAS MENDAPATKAN APA YANG ANDA MINTA!
By Dendi Irfan
Kamis, 29 Oktober 2009
Rabu, 28 Oktober 2009
Akibat Dosa
Semua manusia adalah makhluk yang berdosa, tidak ada yang suci kecuali Nabi Muhammad saw. yang dijamin bersih dari dosa karena setiap melakukan kesalahan, Allah akan langsung mengoreksinya. Berbeda dengan manusia umumnya yang merupakan tempatnya kesalahan; pelupa dan mudah tergoda hawa nafsu. Akan tetapi, tahukah kita bahwa dosa memiliki efek-efek negatif yang patut kita ketahui?
Pertama, dosa itu membuat pelakunya terhalang dari ilmu dan rezeki. Karena ilmu itu adalah cahaya Allah yang tak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Sebagaimana kisah Imam Syafi’i yang kehilangan sebagian hafalannya karena melihat tumit seorang wanita. Jika kita melihat para pelaku maksiat berlimpahan harta, ketahuilah bahwa itu adalah istidraaj (penangguhan hukuman dan ditundanya azab), bukan kenikmatan yang hakiki. Membuat pelakunya semakin terlena dan dosanya semakin menumpuk.
Kedua, pelaku dosa akan diremehkan, tidak saja oleh orang-orang saleh, tetapi juga seluruh manusia. Jika ia seorang pemimpin, perintahnya tidak akan didengar bawahannya. Jika ia seorang ayah, perintahnya tidak akan didengar anaknya. Sebagaimana kata Sufyan ats-Tsauri, ”Aku mengetahui dosa-dosaku dari perilaku istriku, hewan peliharanku, dan tikus yang ada di rumahku.”
Ketiga,pelaku dosa akan mengalami kesulitan dalam hidupnya karena kemudahan itu hanya diberikan kepada orang yang bertakwa, bukan kepada pelaku maksiat. Doa pelaku dosa tidak akan dikabulkan oleh Allah. Mana mungkin majikan akan memberikan apa yang diminta pembantunya jika ia membangkang perintahnya? Keempat, perbuatan dosa akan menghilangkan ketaatan pada Allah. Karena suatu dosa, membuat pelakunya malas untuk beribadah pada Allah. Padahal, awalnya ia sangat mudah melakukannya.
Kelima, perbuatan maksiat mengakibatkan perbuatan maksiat lainnya. Seperti orang yang berbohong, yang harus menutupi perbuatannya dengan melakukan kebohongan-kebohongan lainnya. Akhirnya, dosanya berlipat ganda. Sebaliknya, orang berbuat ketaatan akan menghasilkan ketaatan yang lain. Berbuat satu kebaikan, akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang lain. Keenam, efek dosa tidak saja menimpa pelakunya, tetapi juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Seperti orang mabuk, yang tidak saja merusak dirinya, tetapi juga merusak orang lain dengan berbuat keributan dan keonaran.
Ketujuh, banyak melakukan dosa akan membuat hati menjadi mati. Hati yang tidak lagi bersemangat untuk melakukan kebaikan, tetapi malah bersemangat melakukan keburukan. Ibarat cermin yang sudah tertutupi oleh debu (dosa) sehingga kelihatan hitam tak bercahaya. Di antara tanda matinya hati adalah senang berbuat dosa, ingin berkumpul dengan orang-orang yang selalu berbuat maksiat, membenci orang-orang saleh, tidak mau bertobat, tidak menolak kemungkaran, baik itu dengan tangan, lisan, maupun hatinya.
Kedelapan, perbuatan dosa akan membuat pelakunya meremehkan hak-hak Allah, seperti diibadahi, ditakuti, diharapi, dan diikuti. Ia tidak lagi memiliki perasaan takut untuk melanggar aturan-aturan Allah, meremehkan dan tidak peduli. Kesembilan, perbuatan dosa akan membuat ibadah yang dilakukannya sia-sia. Seperti orang yang shalat karena ingin dilihat orang lain (riya), maka shalatnya tidak akan diterima.
Oleh karena itu, wahai Saudaraku, bagaimanakah engkau memandang dosamu? Apakah engkau meremehkannya sebagai masalah yang kecil, ataukah engkau menganggapnya sebagai masalah besar yang membuat hatimu gelisah karena takut akan azab Allah?
Patut kita renungkan perkataan Ibnu Syibrimah, seorang pakar fiqih asal Irak, “Saya sangat heran pada manusia yang selalu menjaga makanannya karena khawatir akan penyakit, namun tidak menjaga dirinya dari dosa karena khawatir akan siksa api neraka.” Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pertama, dosa itu membuat pelakunya terhalang dari ilmu dan rezeki. Karena ilmu itu adalah cahaya Allah yang tak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Sebagaimana kisah Imam Syafi’i yang kehilangan sebagian hafalannya karena melihat tumit seorang wanita. Jika kita melihat para pelaku maksiat berlimpahan harta, ketahuilah bahwa itu adalah istidraaj (penangguhan hukuman dan ditundanya azab), bukan kenikmatan yang hakiki. Membuat pelakunya semakin terlena dan dosanya semakin menumpuk.
Kedua, pelaku dosa akan diremehkan, tidak saja oleh orang-orang saleh, tetapi juga seluruh manusia. Jika ia seorang pemimpin, perintahnya tidak akan didengar bawahannya. Jika ia seorang ayah, perintahnya tidak akan didengar anaknya. Sebagaimana kata Sufyan ats-Tsauri, ”Aku mengetahui dosa-dosaku dari perilaku istriku, hewan peliharanku, dan tikus yang ada di rumahku.”
Ketiga,pelaku dosa akan mengalami kesulitan dalam hidupnya karena kemudahan itu hanya diberikan kepada orang yang bertakwa, bukan kepada pelaku maksiat. Doa pelaku dosa tidak akan dikabulkan oleh Allah. Mana mungkin majikan akan memberikan apa yang diminta pembantunya jika ia membangkang perintahnya? Keempat, perbuatan dosa akan menghilangkan ketaatan pada Allah. Karena suatu dosa, membuat pelakunya malas untuk beribadah pada Allah. Padahal, awalnya ia sangat mudah melakukannya.
Kelima, perbuatan maksiat mengakibatkan perbuatan maksiat lainnya. Seperti orang yang berbohong, yang harus menutupi perbuatannya dengan melakukan kebohongan-kebohongan lainnya. Akhirnya, dosanya berlipat ganda. Sebaliknya, orang berbuat ketaatan akan menghasilkan ketaatan yang lain. Berbuat satu kebaikan, akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang lain. Keenam, efek dosa tidak saja menimpa pelakunya, tetapi juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Seperti orang mabuk, yang tidak saja merusak dirinya, tetapi juga merusak orang lain dengan berbuat keributan dan keonaran.
Ketujuh, banyak melakukan dosa akan membuat hati menjadi mati. Hati yang tidak lagi bersemangat untuk melakukan kebaikan, tetapi malah bersemangat melakukan keburukan. Ibarat cermin yang sudah tertutupi oleh debu (dosa) sehingga kelihatan hitam tak bercahaya. Di antara tanda matinya hati adalah senang berbuat dosa, ingin berkumpul dengan orang-orang yang selalu berbuat maksiat, membenci orang-orang saleh, tidak mau bertobat, tidak menolak kemungkaran, baik itu dengan tangan, lisan, maupun hatinya.
Kedelapan, perbuatan dosa akan membuat pelakunya meremehkan hak-hak Allah, seperti diibadahi, ditakuti, diharapi, dan diikuti. Ia tidak lagi memiliki perasaan takut untuk melanggar aturan-aturan Allah, meremehkan dan tidak peduli. Kesembilan, perbuatan dosa akan membuat ibadah yang dilakukannya sia-sia. Seperti orang yang shalat karena ingin dilihat orang lain (riya), maka shalatnya tidak akan diterima.
Oleh karena itu, wahai Saudaraku, bagaimanakah engkau memandang dosamu? Apakah engkau meremehkannya sebagai masalah yang kecil, ataukah engkau menganggapnya sebagai masalah besar yang membuat hatimu gelisah karena takut akan azab Allah?
Patut kita renungkan perkataan Ibnu Syibrimah, seorang pakar fiqih asal Irak, “Saya sangat heran pada manusia yang selalu menjaga makanannya karena khawatir akan penyakit, namun tidak menjaga dirinya dari dosa karena khawatir akan siksa api neraka.” Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Kamis, 22 Oktober 2009
Pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II
Hari ini, Kamis, 22 Oktober 2009, Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, dilantik di Istana Negara pada pukul 13.30. Sumpah jabatan dipimpin oleh Presiden SBY sendiri.
Ada 34 menteri yang dilantik yang mewakili partai politik dan profesional. Banyak yang menilai, ini adalah kabinet nepotis, kabinet neolib, dan sebagainya. Hal ini sudah sepatutnya menjadi kritikan yang harus dijawab oleh kabinet ini dengan kerja yang menyejahterakan rakyat.
Selamat! Semoga Indonesia makin jaya!
Ada 34 menteri yang dilantik yang mewakili partai politik dan profesional. Banyak yang menilai, ini adalah kabinet nepotis, kabinet neolib, dan sebagainya. Hal ini sudah sepatutnya menjadi kritikan yang harus dijawab oleh kabinet ini dengan kerja yang menyejahterakan rakyat.
Selamat! Semoga Indonesia makin jaya!
Hakikat Kemanusiaan
Hakikat kemanusiaan adalah MEMILIKI hawa nafsu, bukan DIMILIKI oleh hawa nafsu.
By Dendi Irfan
By Dendi Irfan
Rabu, 21 Oktober 2009
Perilaku-Perilaku Iman
Ketika ajal menghampiri Umar r.a., ia berpesan kepada Abdullah (anaknya), “Wahai anakku sayang, laksanakanlah perilaku-perilaku iman!”
“Apakah perilaku-perilaku iman itu, wahai ayah tercinta?” tanya Abdullah.
Umar menjawab, “Berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas, membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang, sabar menghadapi musibah, menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin, menyegerakan shalat di hari yang mendung, dan meninggalkan ‘lumpur maut’.”
“Apa itu ‘lumpur maut’?” tanya Abdullah.
“Meminum khamar,” jawab Umar menjelaskan. (al-Humawi, 2003)
Dalam wasiat terakhirnya itu, Umar dengan bijaksana merangkum aktualisasi keimanan bagi setiap orang yang mengaku beriman (mukmin). Apa yang Umar sebut sebagai “perilaku keimanan” merupakan sebagian bukti lahiriah dari keimanan yang ada pada diri seseorang. Karena iman—sebagaimana sabda Nabi saw.—adalah dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Tanpa salah satu dari ketiganya, maka keimanan seseorang belum diakui, sebagaimana firman Allah berkaitan dengan orang Arab Badui, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu....’” (al-Hujuraat: 14) Karena itu, “perilaku-perilaku keimanan” yang Umar sebutkan, patut kita renungkan.
Wasiat Umar kepada Abdullah agar “berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas”, karena puasa adalah bukti keimanan yang “jujur” yang hanya hamba dan Tuhannyalah yang tahu. Apalagi berpuasa di hari-hari yang berat. Jika ia dapat melakukannya, berarti ia berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan menggapai hakikat kemanusiaannya, yaitu memiliki hawa nafsu, bukan dimiliki oleh hawa nafsu.
Salah satu sifat orang beriman yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur`an adalah “keras terhadap orang-orang kafir” (al-Maidah: 54 dan al-Fat-h: 29). Hal ini sejalan dengan ungkapan Umar “membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang”. Islam tidak mengenal kompromi dengan musuh-musuhnya, tidak menjadikannya sahabat dan teman kepercayaan. Oleh karena itu, jika ada seorang mukmin yang tidak ada pada dirinya kebencian terhadap musuh-musuh Islam, bahkan bersahabat dengan mereka, berarti imannya belum sempurna.
Umar juga mengingatkan untuk “sabar menghadapi musibah” karena musibah adalah salah satu waktu yang selalu ada pada diri manusia, selain waktu nikmat, taat, dan maksiat. Dan, yang diminta oleh Islam ketika mendapat kenikmatan adalah bersyukur, ketika taat banyak beribadah, ketika maksiat, banyak beristigfar dan bertobat, terakhir ketika mendapat musibah adalah bersabar menghadapinya karena semua peristiwa kehidupan adalah suratan dari Allah. Dengan begitu, hati menjadi tenang, tidak putus asa dan terus mengharap rahmat Allah.
“Menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin” merupakan ekspresi keimanan yang cukup tinggi. Meskipun mendapat keringanan untuk berwudhu yang wajib-wajib saja jika tidak kuat dalam cuaca dingin, tetapi karena keimanan yang tinggi, tetap berwudhu dengan sempurna.
Salah satu kebiasaan Nabi saw. adalah mengakhirkan shalat jika cuaca sangat terik menyengat (misal, shalat zhuhurnya menjelang ashar). Oleh karena itu, Umar mewasiatkan agar “menyegerakan shalat di hari yang mendung”, tidak mengulur-ulurkannya tanpa ada uzur syar’i yang jelas. Karena salah satu ciri orang beriman adalah cepat menjawab panggilan Allah, dalam hal ini shalat.
Meminum khamar (yang memabukkan), tidak saja merusak jiwa dan keimanan, tetapi juga merusak fisik seseorang. Bahkan, dampak negatifnya juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian maupun realitas di lapangan. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengharamkannya, tidak hanya khamar, termasuk segala hal yang memabukkan, seperti narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Wajar jika Umar mewasiatkan untuk meninggalkannya karena jika tidak, sama saja meruntuhkan keimanan yang ada dalam diri. Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pernah dimuat pada harian Republika.
“Apakah perilaku-perilaku iman itu, wahai ayah tercinta?” tanya Abdullah.
Umar menjawab, “Berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas, membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang, sabar menghadapi musibah, menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin, menyegerakan shalat di hari yang mendung, dan meninggalkan ‘lumpur maut’.”
“Apa itu ‘lumpur maut’?” tanya Abdullah.
“Meminum khamar,” jawab Umar menjelaskan. (al-Humawi, 2003)
Dalam wasiat terakhirnya itu, Umar dengan bijaksana merangkum aktualisasi keimanan bagi setiap orang yang mengaku beriman (mukmin). Apa yang Umar sebut sebagai “perilaku keimanan” merupakan sebagian bukti lahiriah dari keimanan yang ada pada diri seseorang. Karena iman—sebagaimana sabda Nabi saw.—adalah dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Tanpa salah satu dari ketiganya, maka keimanan seseorang belum diakui, sebagaimana firman Allah berkaitan dengan orang Arab Badui, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu....’” (al-Hujuraat: 14) Karena itu, “perilaku-perilaku keimanan” yang Umar sebutkan, patut kita renungkan.
Wasiat Umar kepada Abdullah agar “berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas”, karena puasa adalah bukti keimanan yang “jujur” yang hanya hamba dan Tuhannyalah yang tahu. Apalagi berpuasa di hari-hari yang berat. Jika ia dapat melakukannya, berarti ia berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan menggapai hakikat kemanusiaannya, yaitu memiliki hawa nafsu, bukan dimiliki oleh hawa nafsu.
Salah satu sifat orang beriman yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur`an adalah “keras terhadap orang-orang kafir” (al-Maidah: 54 dan al-Fat-h: 29). Hal ini sejalan dengan ungkapan Umar “membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang”. Islam tidak mengenal kompromi dengan musuh-musuhnya, tidak menjadikannya sahabat dan teman kepercayaan. Oleh karena itu, jika ada seorang mukmin yang tidak ada pada dirinya kebencian terhadap musuh-musuh Islam, bahkan bersahabat dengan mereka, berarti imannya belum sempurna.
Umar juga mengingatkan untuk “sabar menghadapi musibah” karena musibah adalah salah satu waktu yang selalu ada pada diri manusia, selain waktu nikmat, taat, dan maksiat. Dan, yang diminta oleh Islam ketika mendapat kenikmatan adalah bersyukur, ketika taat banyak beribadah, ketika maksiat, banyak beristigfar dan bertobat, terakhir ketika mendapat musibah adalah bersabar menghadapinya karena semua peristiwa kehidupan adalah suratan dari Allah. Dengan begitu, hati menjadi tenang, tidak putus asa dan terus mengharap rahmat Allah.
“Menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin” merupakan ekspresi keimanan yang cukup tinggi. Meskipun mendapat keringanan untuk berwudhu yang wajib-wajib saja jika tidak kuat dalam cuaca dingin, tetapi karena keimanan yang tinggi, tetap berwudhu dengan sempurna.
Salah satu kebiasaan Nabi saw. adalah mengakhirkan shalat jika cuaca sangat terik menyengat (misal, shalat zhuhurnya menjelang ashar). Oleh karena itu, Umar mewasiatkan agar “menyegerakan shalat di hari yang mendung”, tidak mengulur-ulurkannya tanpa ada uzur syar’i yang jelas. Karena salah satu ciri orang beriman adalah cepat menjawab panggilan Allah, dalam hal ini shalat.
Meminum khamar (yang memabukkan), tidak saja merusak jiwa dan keimanan, tetapi juga merusak fisik seseorang. Bahkan, dampak negatifnya juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian maupun realitas di lapangan. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengharamkannya, tidak hanya khamar, termasuk segala hal yang memabukkan, seperti narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Wajar jika Umar mewasiatkan untuk meninggalkannya karena jika tidak, sama saja meruntuhkan keimanan yang ada dalam diri. Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pernah dimuat pada harian Republika.
Selasa, 20 Oktober 2009
Ilmu Adalah Cahaya
Ilmu adalah cahaya dan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang hatinya bersih bercahaya. Ia tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang hatinya kotor.
Pelantikan Presiden--Wakil Presiden RI 2009-2014
Hari ini adalah pelantikan SBY--Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2009-2014. Semoga lancar dan membawa kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Amin.
Jumat, 16 Oktober 2009
Gempa Goncang Depok!
Goncangan gempa terasa di Depok pada pukul 16.54. Pusat gempa berada di Ujung Kulon di kedalaman 10 km dengan kekuatan 6.4 skala richter. 185 km dari Jakarta. Tidak berpotensi tsunami.
Kesombongan Tersembunyi
Kesombongan tersembunyi ketika kita merasa "lebih saleh" dari orang lain karena bangga dengan amal yang kita lakukan.
Berhati-hatilah karena hal itu dapat merusak amalan kita di mata Allah.
Berhati-hatilah karena hal itu dapat merusak amalan kita di mata Allah.
Kamis, 15 Oktober 2009
Mewarnai Hari
Jika Anda memulai hari dengan bersedih, sepanjang hari Anda akan bersedih.
Jika Anda memulai hari dengan gembira, sepanjang hari Anda akan bergembira.
Jika Anda memulai hari dengan bersyukur atas karunia Allah, sepanjang hari Anda akan berlimpah karunia.
Jika Anda memulai hari dengan tidak bersyukur atas karunia Allah, sepanjang hari Anda hanya akan mendapat sedikit karunia.
Warna hari Anda ditentukan sejak Anda bangun tidur di pagi hari.
By Dendi Irfan
Jika Anda memulai hari dengan gembira, sepanjang hari Anda akan bergembira.
Jika Anda memulai hari dengan bersyukur atas karunia Allah, sepanjang hari Anda akan berlimpah karunia.
Jika Anda memulai hari dengan tidak bersyukur atas karunia Allah, sepanjang hari Anda hanya akan mendapat sedikit karunia.
Warna hari Anda ditentukan sejak Anda bangun tidur di pagi hari.
By Dendi Irfan
Rabu, 14 Oktober 2009
Allah Yang Maha Pemurah
Aku begitu mencintai-Mu dengan sederhana, namun Kau memberikan semua kebutuhanku tidak dengan sederhana.
By Dendi Irfan
By Dendi Irfan
Selasa, 13 Oktober 2009
Baby's Corner; Kamus Bayi 0-12 Bulan
Tidak disangka, akhirnya moment yang dinanti-nantikan itu datang. Setelah selama kurang lebih sembilan bulan mengandung, akhirnya Ibu sekarang melahirkan dan…punya bayi! Puji syukur pada Yang Kuasa atas nikmat yang diberi-Nya.
Ternyata merawat buah hati kita yang baru lahir, harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum dia lahir. Kalau tidak dipersiapkan sebelumnya, kita sebagai Ibu yang akan kerepotan. Selain itu, sejak kelahirannya hingga usia 12 bulan, banyak pernak-pernik pengurusan bayi yang harus diketahui oleh seorang Ibu. Apa sajakah itu?
Nah, buku Baby’s Corner ini cukup memberikan wawasan yang memadai untuk seorang ibu yang baru mempunyai bayi. Mulai dari masalah pakaian, makanan, minuman, kesehatan, kebersihan, mengenal penyakit dan perilaku bayi, arti tangisan bayi, tumbuh kembang bayi, kamar bayi, hingga tentang baby “gadget” dan mommy “gadget”.
Tulisan ini adalah adalah hasil pengalaman pribadi penulis selama berinteraksi dengan bayinya sendiri. Hal inilah yang membuat penulisan informasi yang selengkap itu ditulis dengan bahasa yang komunikatif, tidak kaku sebagaimana lazimnya tulisan-tulisan ilmiah. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar visual yang semakin memanjakan informasi yang dibutuhkan oleh seorang ibu.
Penulis buku ini berupaya menyajikan buku ini secara lengkap, beserta penjelasan-penjelasan praktis yang mudah dijalankan oleh ibu. Misalnya, setelah mengurai satu poin pembahasan selalu disertakan pembahasan “untuk mengatasinya” atau “yang dapat ibu lakukan”.
Yang menarik, ketika menjelaskan berbagai penyakit yang biasa menghampiri bayi, selain menjelaskan pengobatan dengan obat-obatan kemasan modern, buku ini juga menyajikan resep-resep obat tradisional. Misalnya, obat untuk turun panas adalah dengan memberi bawang merah plus minyak telon; perut kembung diobati dengan daun jarak; muntah-muntah diobati dengan ketumbar plus kapulaga dan adas hitam. Menarik, tinggal Ibu mau memilih yang mana?
Ternyata merawat buah hati kita yang baru lahir, harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum dia lahir. Kalau tidak dipersiapkan sebelumnya, kita sebagai Ibu yang akan kerepotan. Selain itu, sejak kelahirannya hingga usia 12 bulan, banyak pernak-pernik pengurusan bayi yang harus diketahui oleh seorang Ibu. Apa sajakah itu?
Nah, buku Baby’s Corner ini cukup memberikan wawasan yang memadai untuk seorang ibu yang baru mempunyai bayi. Mulai dari masalah pakaian, makanan, minuman, kesehatan, kebersihan, mengenal penyakit dan perilaku bayi, arti tangisan bayi, tumbuh kembang bayi, kamar bayi, hingga tentang baby “gadget” dan mommy “gadget”.
Tulisan ini adalah adalah hasil pengalaman pribadi penulis selama berinteraksi dengan bayinya sendiri. Hal inilah yang membuat penulisan informasi yang selengkap itu ditulis dengan bahasa yang komunikatif, tidak kaku sebagaimana lazimnya tulisan-tulisan ilmiah. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar visual yang semakin memanjakan informasi yang dibutuhkan oleh seorang ibu.
Penulis buku ini berupaya menyajikan buku ini secara lengkap, beserta penjelasan-penjelasan praktis yang mudah dijalankan oleh ibu. Misalnya, setelah mengurai satu poin pembahasan selalu disertakan pembahasan “untuk mengatasinya” atau “yang dapat ibu lakukan”.
Yang menarik, ketika menjelaskan berbagai penyakit yang biasa menghampiri bayi, selain menjelaskan pengobatan dengan obat-obatan kemasan modern, buku ini juga menyajikan resep-resep obat tradisional. Misalnya, obat untuk turun panas adalah dengan memberi bawang merah plus minyak telon; perut kembung diobati dengan daun jarak; muntah-muntah diobati dengan ketumbar plus kapulaga dan adas hitam. Menarik, tinggal Ibu mau memilih yang mana?
INFORMASI BUKU
Penulis : Mia Siti Aminah.
Ukuran buku : 19 x 23 cm.
Kertas : HVS NW 68 gr.
Tebal : 208 halaman.
Format : soft cover.
Cetakan : I, Februari 2009.
Penerbit : Luxima Metro Media—Depok, Jawa Barat.
Harga : Rp49.500,-
Awwab
Dalam surah Qaf ayat 31-33, Allah swt. berfirman,
“Sedangkan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka). (Kepada mereka dikatakan), ‘Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah)—awwab--dan memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya).(Yaitu) orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.’"
Dalam petikan ayat di atas, Allah menjelaskan salah satu ciri orang yang bertakwa adalah awwab. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah, maksud dari awwab adalah suka kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Pulang kepada dzikrullah setelah melalaikan-Nya.
Jelas sekali bahwa Allah sangat senang dengan hamba-hamba-Nya yang tidak pernah bosan untuk bertobat setelah melalaikan-Nya. Sebagai manusia, kita tidak pernah luput dari dosa; selalu saja ada kesalahan yang kita buat. Berbeda dengan karakter setan yang selalu berbuat salah, tanpa pernah berbuat benar. Juga berbeda dari karakter malaikat yang selalu berbuat benar, tanpa melakukan kesalahan. Karakter kita sebagai manusia adalah selalu bertobat setelah bermaksiat kepada Allah swt. Demikian yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Dalam salah satu haditsnya, Nabi saw. bersabda,
“Seorang hamba berbuat dosa, kemudian dia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan Yang Maha Mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya.’ Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya.’ Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya, Lakukanlah sekehendakmu karena Aku telah memberikan ampunan untukmu.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Allah akan mengampuni setiap orang yang mau bertobat atas dosa-dosa yang ia lakukan. Dengan catatan tentunya, ada keinginan kuat untuk meninggal perbuatan dosa itu selamanya sehingga perbuatan itu tidak menjadi kebiasaan.
Jadi, janganlah kita lelah untuk selalu bertobat kepada Allah swt. Nabi saw. saja yang sudah diampuni dosanya oleh Allah, beristigfar setiap harinya sebanyak 70 hingga 100 kali. Apalagi kita yang lemah ini dan hidup di tengah zaman di mana kemaksiatan dapat dengan mudah masuk ke kamar tidur kita?
Allah sangat bergembira dengan hamba-hamba-Nya yang bertobat. Dosa kita dihapuskan seluruhnya, keberuntungan akan menghampiri hidup kita, dan keberkahan dari langit dan bumi akan kita rasakan. Wallahu a’lam.
By Dendi Irfan
“Sedangkan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka). (Kepada mereka dikatakan), ‘Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah)—awwab--dan memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya).(Yaitu) orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.’"
Dalam petikan ayat di atas, Allah menjelaskan salah satu ciri orang yang bertakwa adalah awwab. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah, maksud dari awwab adalah suka kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Pulang kepada dzikrullah setelah melalaikan-Nya.
Jelas sekali bahwa Allah sangat senang dengan hamba-hamba-Nya yang tidak pernah bosan untuk bertobat setelah melalaikan-Nya. Sebagai manusia, kita tidak pernah luput dari dosa; selalu saja ada kesalahan yang kita buat. Berbeda dengan karakter setan yang selalu berbuat salah, tanpa pernah berbuat benar. Juga berbeda dari karakter malaikat yang selalu berbuat benar, tanpa melakukan kesalahan. Karakter kita sebagai manusia adalah selalu bertobat setelah bermaksiat kepada Allah swt. Demikian yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Dalam salah satu haditsnya, Nabi saw. bersabda,
“Seorang hamba berbuat dosa, kemudian dia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan Yang Maha Mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya.’ Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya.’ Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku ini.’ Kemudian Allah swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa kemudian sadar bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan sanggup memberikan siksa akibat dosanya, Lakukanlah sekehendakmu karena Aku telah memberikan ampunan untukmu.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Allah akan mengampuni setiap orang yang mau bertobat atas dosa-dosa yang ia lakukan. Dengan catatan tentunya, ada keinginan kuat untuk meninggal perbuatan dosa itu selamanya sehingga perbuatan itu tidak menjadi kebiasaan.
Jadi, janganlah kita lelah untuk selalu bertobat kepada Allah swt. Nabi saw. saja yang sudah diampuni dosanya oleh Allah, beristigfar setiap harinya sebanyak 70 hingga 100 kali. Apalagi kita yang lemah ini dan hidup di tengah zaman di mana kemaksiatan dapat dengan mudah masuk ke kamar tidur kita?
Allah sangat bergembira dengan hamba-hamba-Nya yang bertobat. Dosa kita dihapuskan seluruhnya, keberuntungan akan menghampiri hidup kita, dan keberkahan dari langit dan bumi akan kita rasakan. Wallahu a’lam.
By Dendi Irfan
Kisah Seorang Pendoa
“Ketika kumohon kepada Allah kekuatan,
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat.
Ketika kumohon kepada Allah kebijaksanaan,
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan.
Ketika kumohon kepada Allah kesejahteraan,
Allah memberiku akal untuk berpikir.
Ketika kumohon kepada Allah keberanian,
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi.
Ketika kumohon kepada Allah sebuah cinta,
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong.
Ketika kumohon kepada Allah bantuan,
Allah memberiku kesempatan.
Aku tak pernah menerima apa yang kuminta,
tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan.
Doaku terjawab sudah….”
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat.
Ketika kumohon kepada Allah kebijaksanaan,
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan.
Ketika kumohon kepada Allah kesejahteraan,
Allah memberiku akal untuk berpikir.
Ketika kumohon kepada Allah keberanian,
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi.
Ketika kumohon kepada Allah sebuah cinta,
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong.
Ketika kumohon kepada Allah bantuan,
Allah memberiku kesempatan.
Aku tak pernah menerima apa yang kuminta,
tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan.
Doaku terjawab sudah….”
Memproduksi Kebaikan
Kita adalah konsumen kebaikan orang lain maka kita harus banyak memproduksi kebaikan agar tidak mengalami defisit.
Disarikan oleh Dendi Irfan dari taujih seorang ustadz.
Disarikan oleh Dendi Irfan dari taujih seorang ustadz.
Senin, 12 Oktober 2009
Mengawali Hari Ini
Bersyukur atas pagi yang CERAH. Memulai hari dengan SUMRINGAH. Jangan mudah MENYERAH dan BERKELUH KESAH. Menutup hari dengan BERDESAH penuh bahagia. ALHAMDULILLAH.
By Dendi Irfan
By Dendi Irfan
Duniamu
Duniamu ada dalam pikiranmu. Buatlah yang indah maka kau akan menyaksikan keindahan dalam hari-harimu.
By Dendi Irfan
By Dendi Irfan
Jumat, 09 Oktober 2009
Cermin Diri
Dalam salah satu haditsnya, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Muslim yang satu adalah cermin bagi muslim yang lainnya.” Ada apa dengan cermin? Apa yang dimaksud oleh Nabi dalam haditsnya ini?
Sudah menjadi ciri khas Nabi saw. dan merupakan kelebihan yang Allah berikan kepada beliau, yaitu apabila beliau bersabda, beliau hanya mengucapkan kata-kata yang ringkas namun luas maknanya. Salah satunya adalah hadits ini.
Cermin adalah tempat berkaca; melihat sosok diri sendiri dari pantulan bayangan yang ada di cermin. Dari cermin, kita bisa melihat sosok diri kita yang sebenarnya, tanpa dikurangi atau ditambah-tambahi. Kita tidak dapat mengingkari apa yang ditampilkan cermin tentang diri kita. Ia berkata jujur tentang diri kita. Begitu juga sebaliknya, jika cermin itu berdebu atau kotor, kita pasti bersedia untuk membersihkannya sehingga kita dan cermin sama-sama tampil bersih dan enak dipandang.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, hendaknya setiap muslim berlaku seperti cermin, yaitu bersikap jujur terhadap saudaranya sesama muslim. Ia akan mengatakan salah jika saudaranya memang melakukan kesalahan, dan ia akan mengoreksinya dengan memberi nasihat-nasihat yang membangun serta mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Adapun jika saudaranya melakukan kebenaran, ia akan mendukung dan mensuportnya. Begitu juga sebaliknya, jika ada saudaranya memberikan nasihat kebaikan kepadanya, ia mau menerimanya dengan senang hati. Dengan demikian, hidup akan menjadi indah, penuh harmoni dan pengertian. Jika hal ini tidak dilakukan (saling menasihati), tunggulah kehancuran sebagaimana yang terjadi pada kaum Yahudi ketika mereka membiarkan kemaksiatan yang terjadi di sekitar mereka.
Dari cermin pula, kita bisa memperbaiki penampilan kita yang kita nilai kurang. Adapun jika ada kelebihan atau sesuai dengan harapan kita dalam hal penampilan, kita bersyukur karenanya. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hendaklah setiap muslim mengaca diri dengan mengambil pelajaran dari saudaranya sesama muslim. Jika saudaranya melakukan kesalahan atau berbuat kemaksiatan, hendaklah ia mengintrospeksi diri, mudah-mudahan ia tidak terjerumus ke dalam hal yang sama dan terhindar darinya. Adapun jika ia dalam posisi yang berbuat maksiat, hendaklah ia berkaca pada orang-orang yang saleh dan melihat sisi kebaikan yang ada pada mereka, sehingga dengan begitu ia termotivasi untuk bertobat dan melakukan kebaikan. Jika ia melihat saudaranya mempunyai kelebihan dalam hal ilmu atau kesalehan, hendaklah ia termotivasi untuk meneladaninya, atau bahkan melebihinya karena berlomba-lomba dalam kebaikan adalah dianjurkan.
Suatu ketika Nabi sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya dan beliau bersabda, “Nanti akan datang seorang calon penduduk surga.” Kemudian datanglah seorang laki-laki yang penampilannya biasa-biasa saja. Lalu ada seorang sahabat yang memberanikan diri untuk meminta izin menginap di rumah laki-laki tersebut.Malam demi malam sahabat ini memperhatikan, ternyata tidak ada amal istimewa yang dilakukan oleh laki-laki itu. Kemudian pada hari ketiga, sahabat ini bertanya kepada laki-laki itu, apa yang membuatnya dinilai sebagai calon penduduk surga oleh Nabi. Setelah berpikir keras, laki-laki itu kemudian menjelaskan bahwa setiap sebelum tidur ia selalu memaafkan kesalahan saudara-saudaranya sesama muslim.
Apa yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Bahwa ternyata, para sahabat selalu mengaca diri dengan sahabat-sahabatnya sesama muslim. Jika ada kelebihan, mereka meneladaninya. Jika ada kekurangan, mereka beristigfar semoga tidak terjerumus dalam hal yang sama dan berusaha menasihati saudaranya itu.
Oleh karena itu, hendaklah kita sesama muslim saling berkaca diri, saling bermuhasabah, dan saling menasihati, sehingga hidup penuh harmoni dan dinamika dalam bingkai kebaikan. Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pernah dimuat di kolom Hikmah Republika
Kamis, 08 Oktober 2009
SALEH YANG CELAKA
Dalam suatu hadits qudsi, dikisahkan bahwa ketika Allah swt. memerintahkan kepada malaikat untuk mengazab suatu kaum, malaikat berkata, “Ya Allah, di negeri itu ada seorang hamba yang selalu beribadah dan orang saleh (rajulun ‘abidun shalih).” Tapi kata Allah, “Mulailah azabnya dari dia.”
Mengapa azabnya dimulai dari orang saleh itu? Kata Allah, karena dia tidak pernah memerah (marah wajahnya), tidak pernah marah karena Allah. Melihat kemungkaran dan kezaliman hanya berzikir saja.
Jelas sekali bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang saleh untuk dirinya sendiri saja, tanpa peduli dengan kondisi orang-orang di sekitarnya. Allah lebih menyukai orang-orang yang saleh, lalu ia juga mengajak orang lain untuk menjadi saleh. Ada amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Ia juga dinilai saleh karena ia bermanfaat untuk orang lain (nafi’un lighairihi).
Dalam salah satu haditsnya, Nabi mengatakan bahwa sebaik-baik orang mukmin adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya. Nabi juga memerintahkan bahwa ketika kita menemukan kemungkaran, kita wajib mencegahnya dengan tangan kita, lisan kita, lalu hati kita dan ini adalah selemah-lemahnya iman. Begitu juga dengan perintah berzakat, infaq, dan sedekah; menyantuni anak yatim, berbakti kepada kedua orang tua, pergaulan dengan istri atau suami, dan sebagainya. Semua ini memperjelas bahwa kesalehan itu tidak untuk diri sendiri, tetapi karena ada interaksi kebaikan dengan orang lain.
Ada beberapa kasus di mana Nabi saw. pernah menegur sahabat-sahabatnya yang hanya memikirkan kesalehan dirinya sendiri. Suatu ketika, ada beberapa sahabat yang berkumpul dan membicarakan tentang ibadah mereka yang kurang. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk shalat malam sepanjang malam, ada juga yang ingin berpuasa terus-menerus, dan ada yang tidak ingin menikah. Nabi menegur mereka dengan mengatakan bahwa beliau shalat malam, tapi juga tidur; beliau berpuasa, tapi juga berbuka; beliau paling bertakwa, tapi juga menikah. Dalam kasus lain, Nabi pernah menegur seorang sahabat yang selalu shalat malam dengan meninggalkan hak istrinya. Beliau mengatakan bahwa dalam diri kita terdapat hak orang lain; suami terhadap istrinya dan sebaliknya.
Ketika seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri, bahasa yang ia gunakan adalah bahasa nafsi-nafsi, padahal ini adalah bahasa akhirat, di mana ketika dihisab di hari Kiamat kita sendiri-sendiri, mendapat kenikmatan surga pun untuk sendiri-sendiri. Ketika bahasa akhirat yang kita gunakan, yaitu nafsi-nafsi, berarti kita telah mati sebelum ajal. Orang yang sudah mati, sudah menjadi mayat, akan menyebarkan bau yang tak sedap ke orang-orang sekitarnya. Menyebarkan fitnah, gosip, isu, dan mengajak orang lain melakukan keburukan.
Agar terhindar hal seperti itu dan kita dapat masuk surga-Nya Allah, kita harus melakukan pekerjaan ahli surga dan mengajak orang lain untuk turut serta. Dengan begitu, kita akan terus bergerak melakukan kebaikan yang insya Allah hal ini dapat menutup keburukan-keburukan kita. Ketika kita hanya memikirkan diri sendiri dan berdiam diri dengan membiarkan keburukan di sekitar kita, maka tanpa sadar, kita pun telah menyiapkan kebaikan kita tertutupi oleh keburukan-keburukan kita. Dan, kita pun harus siap menerima konsekuensi sebagaimana yang Nabi sabdakan dalam hadits qudsinya di atas, yakni berupa azab Allah yang akan menimpa kita manakala kita membiarkan keburukan dan kejahatan merajalela di sekitar kita. Wallahu a’lam.
By Dendi Irfan
Dimuat di kolom Hikmah Republika, 25 Juli 2009
Mengapa azabnya dimulai dari orang saleh itu? Kata Allah, karena dia tidak pernah memerah (marah wajahnya), tidak pernah marah karena Allah. Melihat kemungkaran dan kezaliman hanya berzikir saja.
Jelas sekali bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang saleh untuk dirinya sendiri saja, tanpa peduli dengan kondisi orang-orang di sekitarnya. Allah lebih menyukai orang-orang yang saleh, lalu ia juga mengajak orang lain untuk menjadi saleh. Ada amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Ia juga dinilai saleh karena ia bermanfaat untuk orang lain (nafi’un lighairihi).
Dalam salah satu haditsnya, Nabi mengatakan bahwa sebaik-baik orang mukmin adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya. Nabi juga memerintahkan bahwa ketika kita menemukan kemungkaran, kita wajib mencegahnya dengan tangan kita, lisan kita, lalu hati kita dan ini adalah selemah-lemahnya iman. Begitu juga dengan perintah berzakat, infaq, dan sedekah; menyantuni anak yatim, berbakti kepada kedua orang tua, pergaulan dengan istri atau suami, dan sebagainya. Semua ini memperjelas bahwa kesalehan itu tidak untuk diri sendiri, tetapi karena ada interaksi kebaikan dengan orang lain.
Ada beberapa kasus di mana Nabi saw. pernah menegur sahabat-sahabatnya yang hanya memikirkan kesalehan dirinya sendiri. Suatu ketika, ada beberapa sahabat yang berkumpul dan membicarakan tentang ibadah mereka yang kurang. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk shalat malam sepanjang malam, ada juga yang ingin berpuasa terus-menerus, dan ada yang tidak ingin menikah. Nabi menegur mereka dengan mengatakan bahwa beliau shalat malam, tapi juga tidur; beliau berpuasa, tapi juga berbuka; beliau paling bertakwa, tapi juga menikah. Dalam kasus lain, Nabi pernah menegur seorang sahabat yang selalu shalat malam dengan meninggalkan hak istrinya. Beliau mengatakan bahwa dalam diri kita terdapat hak orang lain; suami terhadap istrinya dan sebaliknya.
Ketika seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri, bahasa yang ia gunakan adalah bahasa nafsi-nafsi, padahal ini adalah bahasa akhirat, di mana ketika dihisab di hari Kiamat kita sendiri-sendiri, mendapat kenikmatan surga pun untuk sendiri-sendiri. Ketika bahasa akhirat yang kita gunakan, yaitu nafsi-nafsi, berarti kita telah mati sebelum ajal. Orang yang sudah mati, sudah menjadi mayat, akan menyebarkan bau yang tak sedap ke orang-orang sekitarnya. Menyebarkan fitnah, gosip, isu, dan mengajak orang lain melakukan keburukan.
Agar terhindar hal seperti itu dan kita dapat masuk surga-Nya Allah, kita harus melakukan pekerjaan ahli surga dan mengajak orang lain untuk turut serta. Dengan begitu, kita akan terus bergerak melakukan kebaikan yang insya Allah hal ini dapat menutup keburukan-keburukan kita. Ketika kita hanya memikirkan diri sendiri dan berdiam diri dengan membiarkan keburukan di sekitar kita, maka tanpa sadar, kita pun telah menyiapkan kebaikan kita tertutupi oleh keburukan-keburukan kita. Dan, kita pun harus siap menerima konsekuensi sebagaimana yang Nabi sabdakan dalam hadits qudsinya di atas, yakni berupa azab Allah yang akan menimpa kita manakala kita membiarkan keburukan dan kejahatan merajalela di sekitar kita. Wallahu a’lam.
By Dendi Irfan
Dimuat di kolom Hikmah Republika, 25 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)