Ketika ajal menghampiri Umar r.a., ia berpesan kepada Abdullah (anaknya), “Wahai anakku sayang, laksanakanlah perilaku-perilaku iman!”
“Apakah perilaku-perilaku iman itu, wahai ayah tercinta?” tanya Abdullah.
Umar menjawab, “Berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas, membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang, sabar menghadapi musibah, menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin, menyegerakan shalat di hari yang mendung, dan meninggalkan ‘lumpur maut’.”
“Apa itu ‘lumpur maut’?” tanya Abdullah.
“Meminum khamar,” jawab Umar menjelaskan. (al-Humawi, 2003)
Dalam wasiat terakhirnya itu, Umar dengan bijaksana merangkum aktualisasi keimanan bagi setiap orang yang mengaku beriman (mukmin). Apa yang Umar sebut sebagai “perilaku keimanan” merupakan sebagian bukti lahiriah dari keimanan yang ada pada diri seseorang. Karena iman—sebagaimana sabda Nabi saw.—adalah dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Tanpa salah satu dari ketiganya, maka keimanan seseorang belum diakui, sebagaimana firman Allah berkaitan dengan orang Arab Badui, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu....’” (al-Hujuraat: 14) Karena itu, “perilaku-perilaku keimanan” yang Umar sebutkan, patut kita renungkan.
Wasiat Umar kepada Abdullah agar “berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas”, karena puasa adalah bukti keimanan yang “jujur” yang hanya hamba dan Tuhannyalah yang tahu. Apalagi berpuasa di hari-hari yang berat. Jika ia dapat melakukannya, berarti ia berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan menggapai hakikat kemanusiaannya, yaitu memiliki hawa nafsu, bukan dimiliki oleh hawa nafsu.
Salah satu sifat orang beriman yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur`an adalah “keras terhadap orang-orang kafir” (al-Maidah: 54 dan al-Fat-h: 29). Hal ini sejalan dengan ungkapan Umar “membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang”. Islam tidak mengenal kompromi dengan musuh-musuhnya, tidak menjadikannya sahabat dan teman kepercayaan. Oleh karena itu, jika ada seorang mukmin yang tidak ada pada dirinya kebencian terhadap musuh-musuh Islam, bahkan bersahabat dengan mereka, berarti imannya belum sempurna.
Umar juga mengingatkan untuk “sabar menghadapi musibah” karena musibah adalah salah satu waktu yang selalu ada pada diri manusia, selain waktu nikmat, taat, dan maksiat. Dan, yang diminta oleh Islam ketika mendapat kenikmatan adalah bersyukur, ketika taat banyak beribadah, ketika maksiat, banyak beristigfar dan bertobat, terakhir ketika mendapat musibah adalah bersabar menghadapinya karena semua peristiwa kehidupan adalah suratan dari Allah. Dengan begitu, hati menjadi tenang, tidak putus asa dan terus mengharap rahmat Allah.
“Menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin” merupakan ekspresi keimanan yang cukup tinggi. Meskipun mendapat keringanan untuk berwudhu yang wajib-wajib saja jika tidak kuat dalam cuaca dingin, tetapi karena keimanan yang tinggi, tetap berwudhu dengan sempurna.
Salah satu kebiasaan Nabi saw. adalah mengakhirkan shalat jika cuaca sangat terik menyengat (misal, shalat zhuhurnya menjelang ashar). Oleh karena itu, Umar mewasiatkan agar “menyegerakan shalat di hari yang mendung”, tidak mengulur-ulurkannya tanpa ada uzur syar’i yang jelas. Karena salah satu ciri orang beriman adalah cepat menjawab panggilan Allah, dalam hal ini shalat.
Meminum khamar (yang memabukkan), tidak saja merusak jiwa dan keimanan, tetapi juga merusak fisik seseorang. Bahkan, dampak negatifnya juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian maupun realitas di lapangan. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengharamkannya, tidak hanya khamar, termasuk segala hal yang memabukkan, seperti narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Wajar jika Umar mewasiatkan untuk meninggalkannya karena jika tidak, sama saja meruntuhkan keimanan yang ada dalam diri. Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pernah dimuat pada harian Republika.
“Apakah perilaku-perilaku iman itu, wahai ayah tercinta?” tanya Abdullah.
Umar menjawab, “Berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas, membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang, sabar menghadapi musibah, menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin, menyegerakan shalat di hari yang mendung, dan meninggalkan ‘lumpur maut’.”
“Apa itu ‘lumpur maut’?” tanya Abdullah.
“Meminum khamar,” jawab Umar menjelaskan. (al-Humawi, 2003)
Dalam wasiat terakhirnya itu, Umar dengan bijaksana merangkum aktualisasi keimanan bagi setiap orang yang mengaku beriman (mukmin). Apa yang Umar sebut sebagai “perilaku keimanan” merupakan sebagian bukti lahiriah dari keimanan yang ada pada diri seseorang. Karena iman—sebagaimana sabda Nabi saw.—adalah dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Tanpa salah satu dari ketiganya, maka keimanan seseorang belum diakui, sebagaimana firman Allah berkaitan dengan orang Arab Badui, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu....’” (al-Hujuraat: 14) Karena itu, “perilaku-perilaku keimanan” yang Umar sebutkan, patut kita renungkan.
Wasiat Umar kepada Abdullah agar “berpuasa di hari-hari yang sangat berat di musim panas”, karena puasa adalah bukti keimanan yang “jujur” yang hanya hamba dan Tuhannyalah yang tahu. Apalagi berpuasa di hari-hari yang berat. Jika ia dapat melakukannya, berarti ia berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan menggapai hakikat kemanusiaannya, yaitu memiliki hawa nafsu, bukan dimiliki oleh hawa nafsu.
Salah satu sifat orang beriman yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur`an adalah “keras terhadap orang-orang kafir” (al-Maidah: 54 dan al-Fat-h: 29). Hal ini sejalan dengan ungkapan Umar “membunuh musuh-musuh Islam dengan pedang”. Islam tidak mengenal kompromi dengan musuh-musuhnya, tidak menjadikannya sahabat dan teman kepercayaan. Oleh karena itu, jika ada seorang mukmin yang tidak ada pada dirinya kebencian terhadap musuh-musuh Islam, bahkan bersahabat dengan mereka, berarti imannya belum sempurna.
Umar juga mengingatkan untuk “sabar menghadapi musibah” karena musibah adalah salah satu waktu yang selalu ada pada diri manusia, selain waktu nikmat, taat, dan maksiat. Dan, yang diminta oleh Islam ketika mendapat kenikmatan adalah bersyukur, ketika taat banyak beribadah, ketika maksiat, banyak beristigfar dan bertobat, terakhir ketika mendapat musibah adalah bersabar menghadapinya karena semua peristiwa kehidupan adalah suratan dari Allah. Dengan begitu, hati menjadi tenang, tidak putus asa dan terus mengharap rahmat Allah.
“Menyempurnakan wudhu di hari yang bercuaca dingin” merupakan ekspresi keimanan yang cukup tinggi. Meskipun mendapat keringanan untuk berwudhu yang wajib-wajib saja jika tidak kuat dalam cuaca dingin, tetapi karena keimanan yang tinggi, tetap berwudhu dengan sempurna.
Salah satu kebiasaan Nabi saw. adalah mengakhirkan shalat jika cuaca sangat terik menyengat (misal, shalat zhuhurnya menjelang ashar). Oleh karena itu, Umar mewasiatkan agar “menyegerakan shalat di hari yang mendung”, tidak mengulur-ulurkannya tanpa ada uzur syar’i yang jelas. Karena salah satu ciri orang beriman adalah cepat menjawab panggilan Allah, dalam hal ini shalat.
Meminum khamar (yang memabukkan), tidak saja merusak jiwa dan keimanan, tetapi juga merusak fisik seseorang. Bahkan, dampak negatifnya juga menimpa orang-orang di sekitarnya. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian maupun realitas di lapangan. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengharamkannya, tidak hanya khamar, termasuk segala hal yang memabukkan, seperti narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Wajar jika Umar mewasiatkan untuk meninggalkannya karena jika tidak, sama saja meruntuhkan keimanan yang ada dalam diri. Wallahu a’lam bish-shawwab.
By Dendi Irfan
Pernah dimuat pada harian Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar